Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 06 Februari 2015

ERITRODERMA

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Eritroderma adalah istilah yang biasa dipakai untuk setiap inflamasi pada penyakit kulit yang mempengaruhi >90% permukaan tubuh. Dermatitis eksfoliatif merupakan sinonim yang biasa digunakan.1,2
Sebuah studi dari belanda memperkirakan kejadian eritroderma tiap tahun adalah 0,9 per 100.000 penduduk.1
Pada studi lain didapatkan dari 51 anak dengan eritroderma, 30% terdiagnosis dengan imunodefisiensi. Angka kematian berjumlah 16% dan biasanya terkait dengn imunodefisiensi.2
Pada perbandingan pasien dengan dan tanpa infeksi HIV, eritroderma pada HIV (+) paling sering berhubungan dengan reaksi obat (40,6%), pada HIV (-) reaksi obat hanya berpengaruh sebanyak 22,6%.
       Etiologi eritroderma sebagai berikut:1,3
No
Etiologi
Prevalensi (%)
1
Kelainan herediter
1,0
2
Psoriasis
25,0
3
Eczema
40,0
4
Obat (penisilin dan barbiturat)
10,0
5
Pemphigus
0,5
6
Limfoma dan leukemia
15,0
7
Penyakit kulit lain:
-   Lichen planus
-   Dermatophytosis
-   Skabies krusta
-   Dermatomyositis
0,5
8
Tidak diketahui
8,0

Tabel 12. Etiologi eritroderma


Patogenesis terjadinya eritroderma tergantung penyakit yang mendasari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada eritroderma terdapat teori imunopatogenesis yang melibatkan Staphylococcus dengan mengkode superantigen dari toksin tersebut. Toksin ini akan menyebabkan timbulnya toxic shock syndrome dan staphylococcal scalded skin syndrome.4
Teori lain juga mengatakan bahwa tingginya kadar imunoglobulin E (IgE) dapat ditemukan pada eritroderma dan untuk masing-masing tipenya memiliki kadar yang berbeda-beda. Misalnya, pada teori dikatakan bahwa tingginya kadar IgE pada eritroderma e.c. psoriasis mungkin disebabkan karena perubahan Th1 menjadi Th2 dengan memproduksi sitokin-sitokin yang bersifat toksik. Mekanisme lain juga bisa terjadi karena adanya overproduksi primer dari IgE pada dermatitis atopic. HyperIgE syndrome dihubungkan dengan kejadian eritroderma, dimana produksi IgE yang berlebih juga akan mensekresi interferon-ˠ secara berlebih.4
Pada eritroderma dapat ditemukan adanya respon metabolik, dimana terjadi kehilangan panas dalam jumlah besar akibat dilatasi (pelebaran) pembuluh darah kapiler, dan juga terjadi kehilangan cairan tubuh melalui proses konveksi. Pada eritroderma kronis juga dapat terjadi gagal jantung, hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Kehilangan cairan tubuh sampai 9 gr/m2 dari jumlah cairan tubuh total per hari sehingga keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan albumin serum. Akibatnya, akan terjadi hipoproteinemia yang menyebabkan timbulnya edema pada ektremitas bagian bawah karena disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskular.5
Jenis-jenis erytroderma berdasarkan penyebabnya sebagai berikut:
1.    Erytroderma erupsi obat
Erupsi obat adalah perubahan-perubahan pada kulit dan membran-membran mukosa yang terjadi sebagaimana efek-efek samping yang tidak digunakan setelah pemberian obat dengan dosis yang normal dan biasa yakni  setelah pemberian oral, intrakutan, subkutan, intramuskular, intravena dan juga setelah intralesi atau absorpsi obat-obatan melalui kuli dan membran mukosa.6
        Erytroderma reaksi obat sekitar 10% dari semua jenis erytroderma. Jenis obat yang diduga menjadi penyebab terjadinya efek samping obat pada kulit yaitu obat antibiotika(52,6%), obat analgesik antipiretik (10,5 %), anti inflamasi non steroid (10,5%),  dan lain-lain (tabel 1). Setelah makan beberapa jenis obat, penyakit mulai dengan papul erytema. Erytema menyebar sangat cepat sampai menyebabkan permukaan kulit menjadi eritema merah terang. Obat yang menyebabkan erytroderma harus dihentikan. Steroid oral dan terapi denyut efektif pada awal fase. Meskipun pada kebanyakan kasus relatif segera berubah setelah obat kausatif dihentikan. Likenifikasi dapat berlanjut untuk waktu yang lama. Drug induced hypersensitivitas syndrome (DHIS) adalah erupsi obat yang persisten dengan gagal organ yang dapat juga merupakan penyebab erytroderma.6,7
Eritroderma akibat alergi obat mempunyai gambaran klinis eritema universal (>90 % luas kulit). Pada stadium penyembuhan baru terlihat skuama, timbulnya akut, keluhan lebih gatal dibandingkan eritroderma penyebab lain. Pada beberapa penderita bisa berkembang menjadi sindroma sezary.2
Tabel 13. Obat penyebab erytroderma6
No
Obat
No
Obat
1
Antibiotik
7
Karbamazepin
2
OAINS
8
Simetidin
3
Allopuronil
9
Gold
4
Lithium
10
Quinidine
5
Phenytoin
11
Dan lain-lain
6
Kalsium chanel bloker





2.    Eritroderma ekzema
Eritroderma eczema didapatkan pada sekitar 50% dari semua kasus eritroderma. Walaupun frekuensi terbanyak didapatkan pada pria dengan usia tua. Sebenarnya dapat ditemukan pada semua umur dengan dermatitis atopik. Dermatitis atopik dan variasi tipe dari eczema generalisata menjadi eritroderma yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Factor intrinsic meliputi disfungsi dari sel T, liver atau ginjal, paranephrotik dan distonia autonomik.1
Factor instrinsik yaitu pengobatan eczema yang tidak sesuai dengan perubahan lingkungan. Kemerahan, edema dan bersisik merupakan gambaran klinik yang lebih tampak di kulit. Gejala sistemik yang muncul seperti demam, dehidrasi, kekurangan protein, instabilitas suhu tubuh dan infeksi oportunistik. Atrofi kulit, pigmentasi, skuama halus dan kulit terang menjadi gambaran erupsi dan menjadi kronik. 1
Eritroderma eczema biasanya disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik dan dermatitis autosensitisasi.  Steroid topikal merupakan pengobata yang efektif. 1

3.    Eritroderma psoriasis
Psoriatic exfoliative dermatitis dapat terjadi pada penggunaan steroid, fototerapi, alkohol, dan stres. Erupsi psoriatik topikal sering merupakan sisa pada eritema. Deformitas kuku sering terjadi. Treatmen siklosporin oral atau etretinate (derivat vitamin A) adalah treatmen yang dibutuhkan pada beberapa kasus.6

4.    Erytroderma tumor
T-cells lymphoma (seperti mycosis fungoides, Sezary syndrome), T-cell leukemia pada dewasa, Hodgkin’s disease, leukemia limfositik kronik merupakan penyakit primer dari tumor eritroderma. Pemeriksaan secara sistemik penting untuk mendeteksi lesi yang lebih dalam, sehingga dapat ditemukan eritema disertai rasa gatal yang hebat di seluruh tubuh dan terdapat pembesaran kelenjar getah bening. Penyakit primer ini dapat diidentifikasi dan diobati.6

5.    Erytroderma penyebab lain
a.    Dermatosis bullous; pemfhigus foliaceus dan dermatitis herpetiformis bisa berkembang menjadi eritroderma. Pemeriksaan histopatologi dan tes antibodi dengan imunofloresensi langsung dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.6
b.   Keratosis herediter; nonbullous congenital ichthyosiform erythroderma, diffuse erythema, scaling dan hyperkeratosis terjadi pada saat kelahiran atau beberapa minggu setelah lahir.6
c.    Penyakit infeksi; eritroderma pada pasien-pasien immunocompromised seperti AIDS. Scabies, tinea, candidiasis dan infeksi virus seperti campak dan rubella bisa menjadi eritroderma. Sedangkan pada anak-anak Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS) dapat berkembang menjadi eritroderma.6
Eritroderma sering muncul dengan onset mendadak, bisa disertai dengan demam, menggigil dan malaise. Eritema meluas dengan cepat dan universal dalam 12-48 jam. Gatal muncul setelah 2-6 hari, biasa berawal dari bagian tubuh yang berlipat, tetapi sangat bervariasi dalam derajat dan karakter dari kasus ke kasus. Gatal dapat memberat, pada tahap ini kulit menjadi merah terang, panas kering dan terjadi penebalan. Pada sebagian besar pasien didapatkan limfadenopati dan hepatomegali.1,8
Intensitas eritema dapat berfluktuasi selama periode beberapa hari atau bahkan beberapa jam. Iritasi kadang-kadang berat. Pada kondisi kronik kulit kepala dan rambut tubuh bisa hilang, kuku menebal dan bergerigi, wajah ektropion, kulit bagian periorbital meradang dan udem, dapat juga terjadi gangguan pada pigmen, berupa hilangnya pigmen, ini terutama pada orang kulit hitam.  Pengaturan suhu tubuh juga tergganggu sehingga pada pasien sering mengalami hipotermi karena kehilangan panas tubuh melalui permukaan kulit.1,8
Untuk menegakkan diagnosis eritroderma dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Eritroderma mudah dikenali tetapi sulit untuk mengetahui penyebabnya. Riwayat yang sering dapat membantu identifikasi adalah penyakit herediter, reaksi obat, psoriasis, dan lain-lain. tetapi beberapa kasus dapat terjadi mendadak dan tidak ada riwayat yang seperti telah disebutkan di atas.1,7
Pada kasus yang sulit, dapat dilakukan biopsi kelenjar getah bening, tetapi harus diberitahukan terlebih dahulu pada ahli patologi bahwa sediaan diambil dari pasien eritroderma, agar interpretasi histologisnya akurat. Gambaran umum dimodifikasi sesuai dengan sifat dari setiap penyakit yang mendasari, usia dan kondisi fisik umum. Pemeriksaan histologi sangat membantu, tetapi tidak spesifik.1,7
Terapi di rumah sakit sangat penting, terutama pada fase akut dan kasus yang berat, karena pasien mungkin berubah menjadi masalah medis umum yang serius. Pada kasus ini keseimbangan protein dan elektrolit, sirkulasi, dan temperatur harus dijaga secara terus-menerus. Suhu lingkungan harus diatur hati-hati. Suhu dingin dan panas harus dihindari dengan menggunakan selimut.1
Kadar urea dan elektrolit dan keseimbangan cairan harus dimonitor. Intake cairan yang adekuat harus terpenuhi, tetapi jika terjadi edema, diuretik dan atau infus plasma harus dipertimbangkan. Terapi gagal jantung harus diterapi jika itu terjadi. Kemungkinan erytroderma yang terjadi adalah karena reaksi obat harus selalu dipikirkan dalam setiap kasus dan semua obat yang tidak esensial harus diambil.1
Inflamasi kutaneus seharusnya diterapi  pertama kali dengan krim emolsion yang dingin atau dengan topikal steroid ringan. Kebanyakan pasien akan membaik dalam seminggu atau dua minggu dengan menggunakan pengobatan ini.1 Jika pengobatan topikal digunakan harus diingat fungsi barier dari kulit erytrodermik sangat berkurang. Pada kondisi ini berpotensial berbahaya karena pengobatan topikal, seperti asam salisilat, kortikosteroid atau analog vitamin D akan menyebabkan paparan sistemik lebih tinggi kemudian mengharapkan menjadi lebih baik pada keadaan yang lain.1
Banyak dermatologis lebih suka menggunakan steroid sistemik jika memungkinkan karena berbahaya pada retensi cairan, infeksi sekunder, diabetes. Tetapi pada beberapa kasus persisten mungkin menjadi kebutuhan. Pada kondisi ini beberapa bukti yang menggunakan steroid sistemik atau steroid topikal pada erytroderma psoriasis mungkin menyebabkan terjadinya pustul. Pada kasus seperti ini, methotrexate dosis rendah, asitretin atau siklosporin mungkin dapat menjadi alternatif. Topikal Tar dan terapi UV seharusnya dihindarkan pada erytroderma psoriasis.1
Antibiotik digunakan untuk mengontrol infeksi sekunder. Kolonisasi S. Aureus di kulit mungkin dapat menyebabkan erytroderma. Terapi standar pada limfoma kutaneus erytroderma masih menjadi perdebatan. Pilihan pengobatannya terdiri atas steroid sistemik, PUVA, radioterapi, nitrogen topikal, dan kemoterapi sistemik.1
Eritroderma merupakan suatu keadaan serius yang menjadi masalah. Selain itu penyakit ini sangat berbahaya jika dialami pada usia tua. Dilaporkan bahwa angka kematiannya 18 sampai dengan 64% tapi dengan adanya kemajuan dalam bidang pengobatan modern, angka tersebut mengalami penurunan.1
Bentuk eritroderma yang paling sering ditemukan adalah eksematous dan psoriatik. Biasanya berlangsung hingga berbulan-bulan, bertahun-tahun dan atau mengalami relaps. Penyakit atau gangguan metabolik dapat beresiko serius seperti hipotermia, dekompensasi cordis, kegagalan sirkulasi perifer dan tromboplebitis. Penyebab kematian tersering  pada pasien dengan eritroderma adalah pneumonia, sepsis, dan gagal jantung. Pada pasien dengan usia tua komplikasi dapat berkembang seperti infeksi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan gagal jantung yang meningkatkan mortalitas.1
Pengobatannya juga dapat menjadi masalah, terutama pengobatan steroid sistemik dan immunosuppresan lainnya.1
DAFTAR PUSTAKA

1.    Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s text book of dermatology. Vol.1; 8th ed. Singapore; Willey Blackwell,2010. p.23,46-7, 23,49
2.    James W, Berger T, Elston D. Andrws’ disease of the skin clinical dermatology. 10th ed. Saunders Elsevier,2006. p.226-7.
3.    Wolff K, Johnson RA. Mites bites and infestations. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology. 6th ed. Mc graw hill: New York; 2009. p.165
4.    Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Arthropod bites and stings. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. Mc graw hill: New York; 2008. p.225-7
5.    Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Infestations. Clinical dermatology. 4th ed. Blackwell Publishing: Australia; 2008. p.357
6.    Shimizu H. Erythroderma. Textbook of dermatology. Nakayama shoten publishers: Japan; 2007. p.122-5
7.    Amiruddin D. Ilmu penyakit kulit. Makassar; Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNHAS: 2003. p:

8.    Haunter J, Savin J, Dahl M. Clinical dermatology. 3th ed. Australia; Blackwell,2003. p.69. 
Readmore → ERITRODERMA

DIFTERI

BAB I
PENDAHULUAN

Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan social ekonomi rendah yang tinggal di tempat sangat berdekatan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.1,2
Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfonia, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia.3
Pada 1400 kasus difteri di California, fokus infeksi primer sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring merupakan dua tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang daripada tonsil dan faring. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri Bullneck dan miokarditis menyebabkan kematian paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas hampir 10%.4
Pada penderita umumnya anaka-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama abad ke 20 difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi difteri
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. 1

2.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk social ekonomi rendah di tempat yang sangat berdekatan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.2

2.3 Etiologi

Corynebacterium diphtheria adalah kuman batang gram positif, (basil aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar 0,3 hingga 0,8 μm, tidak bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora, tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60°C. 2

Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 1). Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu Sistin Telurit Agar Darah. Media Sistin Telurit Agar Darah akan menghambat pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam.2,3
Pada media Loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka Corynebacterium difteri akan membentuk granul berwarna metakromatik. Sedangkan pada pewarnaan metilen blue koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium difteri dapat hidup bersama dengan kuman difteroid yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan diperlukan pemeriksaan khusus dengan fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.4
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium difteri yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis. Ketiga subspecies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi tiga strain dikaitkan dengan kemampuan relatif untuk memproduksi toksin difteri baik kualitas maupun jumlah, dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu pertumbuhan 60 menit, strain intermedius memiliki waktu pertumbuhan sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu pertumbuhan sekitar 180 menit. Dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologis. Hal ini bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium difteri.3
Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium difteri yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen. Toksin ini dapat diperlihatkan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian atau dengan teknik imunopresipitin agar atau disebut juga uji Elek yaitu suatu uji reaksi polimerase.1,2

2.4 Faktor resiko
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1.      Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2.      Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3.      Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4.      Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
5.      Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.4

2.5  Patogenesis
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.1,4
Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik. Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfide. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.2
Gambar 3. Toksin dan reseptor difteri
Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.5
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :

NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif. 2

Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon terjadi inflamasi lokal dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. 2
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu :4
1.      Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
2.      Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.

Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”. Kerusakan jaringan mengakibatkan udema dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal.5
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf. Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udema, dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik.3
Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul dalam 10 – 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 – 7 minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.2
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:4
1.      Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2.      Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan menimbulkan bengkak pada laring.
3.      Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

2.6  Manifestasi klinis difteri
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C.1


2.6.1        Difteri Hidung
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran secret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.2

Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakkan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotik.3

1.6.1        Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. 2

Gambar 7. Difteri tonsil, faring2

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udema ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 – 10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. 5

1.6.1        Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk kering.2
Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, supraklavikular, dan intrakostal. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.1

Gambar 8. Difteri laring2


1.6  Diagnosis difteri
Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih keabu-abuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi perdarahan.3
Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :
·          Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membran
·          Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah.
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG).
Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.1
Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.4

1.7  Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.4
Komplikasi difteri terdiri dari :
1.       Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan memperberat gejala Difteri
2.      Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas
3.      Infeksi sistemik karena efek eksotoksin

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan. Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi jalan nafas.2,4

1.8  Prognosis
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:4
1.      Usia penderita
Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian paling sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2.      Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin prognosis semakin baik.
3.      Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4.      Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis yang disertai kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.5

1.9        Pengobatan dan penatalaksanaan difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.4
a.       Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.2,4
b.      Pengobatan khusus
·         Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. 4
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).2,4,
·         Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.1
Dosis :
·         Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
·         Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
·         Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4 dosis.
·         Amoksisilin.
·         Rifampisin.
·         Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurangkurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.4

·         Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.4

a.       Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi.17 Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga. 2

































DAFTAR PUSTAKA

1.      Todar K. Online textbook of bacteriology, 2011. Available from : http://www.textbook of bacteriology.net/featured_microbe.jpg.
2.      CDC. DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Edisi 12, 2012. Available from:
3.      De Benoist AC, White JM, Efstratiou A et al. (2009)  diphtheria, United Kingdom. Emerging Infectious Diseases 109-110.
4.      Guilfoile PG. diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers ; 2009.p. 97 – 105
5.      Deterding RR. Diphtheria. In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of America : Library of congress press ; 2009 p 75-78

Readmore → DIFTERI
 
Blogger Templates