BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
A. DEFINISI
Leukemia mielositik kronik (LMK) merupakan
kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan peningkatan proliferasi dari
seri sel granulosit tanpa disertai gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan
darah tepi dapat ditemukan berbagai tingkatan diferensiasi seri granulosit,
mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai
granulosit.1,2,3
B.
EPIDEMIOLOGI
Leukemia mielositik kronik (LMK) adalah salah
satu dari beberapa kanker diketahui disebabkan oleh mutasi tunggal genetik
tertentu. Lebih dari 90% kasus dihasilkan dari kelainan sitogenetika dikenal
sebagai kromosom Philadelphia. LMK menyumbang 20% dari semua leukemia
mempengaruhi orang dewasa. Leukemia jenis ini sering menyerang individu
setengah baya. Penyakit ini jarang terjadi pada individu yang lebih muda.
Pasien yang lebih muda mungkin mengalami bentuk yang lebih agresif dari LMK,
seperti pada fase akselerasi atau krisis blast. Leukemia jenis ini dapat muncul
sebagai penyakit onset baru pada orang tua.2,3
C.
FAKTOR PENYEBAB
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis
terjadinya LMK adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut
beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit
radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi
radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun
begitu, hanya 5 – 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya
paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak.
Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi
bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya
gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda, khususnya yang terpapar
saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi tidak
dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan yang ibunya
terpapar saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan yang terjadi mulai
dari masa inisiasi, pre-leukemia dan selanjutnya menjadi leukemia.1,2,3
D.
PATOFISIOLOGI
Leukemia mielositik kronik (LMK) adalah
kelainan diperoleh yang melibatkan sel batang hematopoietik. Hal ini ditandai
oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan
panjang kromosom 22 dan 9 [t (9; 22)]. Hasil translokasi dalam kromosom,
dipersingkat 22 pengamatan pertama dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan
kemudian disebut kromosom Philadelphia.1,2,4
Gambar 1. Kromosom Philadelphia
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gen
BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan dari sel induk
pluripoten pada system hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya
berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena
gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis
lainnya. Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya
Ph sampai menjadi LMK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph
terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan
pembentukan gen hybrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada
kromosom 9. Gen hybrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya
mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peran
gen resiprokal ABLBCR tidak diketahui. Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada
kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien LMK, tetapi gen BCR-ABL
pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LMK. Dalam perjalanan penyakitnya,
pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal
ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan
adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i
(17)q. dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang
berperan dalam patofisiologi LMK atau terjadi abnormalitas dari gen supresor
tumor, seperti gen
p53, p16, dan
gen Rb.1,2,4
Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit LMK dibagi menjadi 3 fase
yaitu, fase kronik,akselerasi dan blas.1,2,4,5
1. Fase kronik
Fase kronik ditandai ekspansi yang tinggi
dari hemopoetik pool dengan peningkatan pembentukan sel darah matur, dengan
sedikit gangguan fungsional. Umumnya sel neoplasma sedikit dijumpai di sumsum
tulang, hepar, lien dan darh perifer. Akibatnya gejala penyakit tergantung
infiltrasi ke organ, pengaruh metabolik dan hiperviskositas serta umumnya mudah
dikontrol. Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun.
Gejala klinik umumnya non spesifik akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan dan anoreksia.
Pada pemeriksaan fisik penderita tampak
pucat, ekimosis, hepatosplenomegali dan nyeri sternum. Gejala tersebut berhubungan
dengan derajat leukositosis Kadang-kadang (20%) asimptomatis dan ditemukan
secara kebetulan. Pemeriksaan Laboratorium dapat dijumpai anemia normokrom
normositer, Leukostosis berat dengan shift to the left dan trombostosis. Kadar
leukosit meningkat antara 80.000 – 800.000 / mm3. Leukositosis sangat berat
(> 500.000 /mm3) dapat dijumpai pada anak-anak. Pemeriksaan hapusan darah
tepi dijumpai seluruh stadium diferensiasi sel seperti myeloblas dan
promileosit yang umumnya dibawah 15%, serta tidak dijumpai hiatus leukemikus.
Juga dijumpai peningkatan absolut basofil dan eosinofil.
Pemeriksaan sumsum tulang dijumpai
hiperselular dengan granulositosis (sering diikuti megakariositik), maturasi
granulosit lebih matur disertai basofilia dan eosinofilia. Myelofibrosis
umumnya jarang dijumpai pada fase kronik, dan dapat dijumpai pada 30-40%
penderita. Juga dapat dijumpai lipid-laden histiosit atau gaucher sel atau sea
blue histiosit. Pada pemeriksaan serologi dapat dijumpai peningkatan asam urat,
laktik dehidrogenase, vitamin B12 dan vitamin B12 binding protein. Kelainan
granulosit dapat diketahui dengan adanya penurunan aktivitas leukosit alkalin
fosfatase (LAP) dengan pemeriksaan sitokimia. Diagnosis banding LMK fase kronik
reaksi lekemoid, LMK tipe juvenil dan penyakit myeloproliferatif lain. Pada
lekemoid, splenomegali biasanya tidak menonjol, aktivitas LAP meningkat tinggi,
Ph’ kromosom negatif, leukositosis dan splenomegali tidak sehebat LMK dan
melibatkan organ seperti kulit dan kelenjar limpa. Penyakit myeloproliferatif
dibedakan dari LMK dengan pemeriksaan granulosit berseri dan Ph’ kromosom.
2. Fase akselerasi
Setelah lebih kurang 3 tahun, LMK kronik akan
menjadi fase akselerasi dengan meningkatnya progresifitas penyakit. Sekitar 5 %
kasus, terjadi perubahan mendadak dengan peningkatan yang cepat sel blas pada
darah perifer (krisis blas). Sekitar 50% kasus akan berkembang menjadi lebih
progressif yang menimbulkan gejala seperti leukemia akut dan sisanya 45%
terjadi peningkatan progresif secara pelan-pelan. Gejala dan tanda dari fase
akselerasi :
- Panas tanpa penyebab yang jelas dan splenomegali
progresif
- Anemia dan trombositopenia setelah sebelumnya sempat
normal
- Trombositosis > 1000 x 109/ L
- Basofil > 20% dan myeloblas > 5 %
- Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi
nuetrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang besar.
- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti Ph’-2
kromosom
- Peningkatan uptake timidin oleh neutrofil
- Peningkatan kandungan DNA dan penurunan fraksi
proliferasi.
3. Fase blas
Pada fase ini gejala klinik meliputi anemia,
trombositopenia dan peningkatan sel blas pada darah tepi dan sumsum tulang.
Pada sumsum tulang dijumpai lebih dari 30 % sel blas yang merupakan tanda
diagnostik fase ini. Sel blas didominasi oleh sel myeloid tetapi sel eritroid,
megakariositik dan limfoblas dapat dijumpai. Gejala klinik pada fase ini sama
dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka
penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini
dibedakan dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia
dan adanya Ph’-2 kromosom.
A.
DIAGNOSIS
1.
Anamnesis
Pasien sering
mengalami gejala yang berkaitan dengan pembesaran limpa, hati, atau keduanya.
Limpa besar dapat mengganggu pada lambung dan menyebabkan cepat kenyang
sehingga asupan makanan berkurang. Nyeri perut kuadran kiri atas digambarkan
sebagai nyeri dengan kualitas "mencengkeram" mungkin terjadi akibat
infark limpa. Limpa yang membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan
hipermetabolik, demam, penurunan berat badan, dan kelelahan kronis. Hati yang
membesar dapat menyebabkan penurunan berat badan pasien. Beberapa pasien dengan
LMK akan mengalami demam ringan dan berkeringat berlebihan terkait dengan
hipermetabolisme. Pada beberapa pasien yang ada pada fase akselerasi, atau fase
akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis
dan mungkin merupakan gejala yang menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya
berhubungan dengan infeksi. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan fibrosis
sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase blast.1,2,6
2.
Pemeriksaan fisis
Splenomegali
adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan leukemia myelogenous
kronis (LMK). Pada lebih dari 50% pasien dengan LMK, limpa berukuran lebih dari
5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa berkorelasi
dengan hitungan granulocyte darah perifer, dengan limpa terbesar yang diamati
pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Limpa yang besar biasanya
pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari penyakit.
Hepatomegali juga terjadi, meskipun kejadiannya tidak sesering dari
splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedullary
terjadi di limpa. Temuan fisik leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi
pada beberapa pasien, dengan peningkatan leukosit yang sangat tinggi, lebih
dari 300,000-600,000 sel/uL. Setelah funduscopy, retina dapat menunjukkan
papilledema, obstruksi vena, dan perdarahan. Krisis blast ditandai oleh
peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah perifer atau oleh
perkembangan leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala khas adalah
karena trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan
kegagalan obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.1,6
3.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
untuk leukemia myelogenous kronis (LMK) terdiri dari jumlah darah lengkap dengan
hitung diferensial, apusan darah tepi, dan analisis sumsum tulang.1,2,6
a.
Hapusan darah tepi
Pada LMK, peningkatan
granulosit matang dan jumlah limfosit normal (persentase rendah karena dilusi
dalam hitungan diferensial) menghasilkan jumlah leukosit total 20,000-60,000
sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih
menonjol selama masa transisi ke leukemia akut. Proses apoptosis neutrofil
matang/granulosit mengalami penurunan (kematian sel terprogram), mengakibatkan
akumulasi sel berumur panjang dengan enzim yang rendah atau tidak ada, seperti
alkalin fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan alkali fosfatase leukosit sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan nilai yang rendah. Darah perifer pada pasien dengan LMK menunjukkan gambaran darah khas leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum tulang.
Gambar 2. Hapusan Darah Tepi Pasien CML. fillm blood pada
perbesaran 400x menunjukkan leukositosis dengan kehadiran sel-sel prekursor
dari garis keturunan myeloid. Selain itu, basophilia, eosinofilia,
dantrombositosis dapat dilihat.
Fase transisi atau akselerasi LMK ditandai
dengan penurunan respon terhadap terapi obat myelosuppressive, munculnya
sel-sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%), basofil (≥ 20%), dan
penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000 sel/uL.
Gambar 3. Hapusan Darah Tepi Pasien LMK Fase
Transisi. Film Blood pada perbesaran 1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil,
dan basofil.
Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi
pada pasien dengan LMK adalah penurunan respon terhadap obat-obatan
myelosupresi atau interferon, meningkatnya sel blast dalam darah tepi dengan
basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi, kelainan
sitogenetika baru, dan meningkatnya splenomegali dan myelofibrosis. Pada sekitar
dua pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah myeloid. Namun, pada sepertiga
kasus sisanya, sel blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe limfoid, bukti
lebih lanjut dari sifat sel induk penyakit asli. Kelainan kromosom tambahan
biasanya ditemukan pada saat fase blast krisis, termasuk tambahan Ph
translokasi kromosom atau lainnya. Sel myeloid awal seperti myeloblasts,
mielosit, metamyelocytes, dan sel darah merah yang berinti biasa terlihat dalam
hapusan darah, seperti temuan di sumsum tulang. Kehadiran sel-sel progenitor
yang berbeda midstage membedakan LMK dari leukemia myelogenous akut, dimana leukemic gap (maturation arrest) atau hiatus
ada dan menunjukkan adanya sel-sel ini. Anemia ringan sampai anemia sedang
sangat umum pada saat diagnosis dan biasanya normokromik normositik dan. Jumlah
trombosit pada diagnosis bisa rendah, normal, atau bahkan meningkat pada
beberapa pasien (> 1 juta pada beberapa).
a.
Analisis sumsum tulang
Sumsum tulang bersifat hypercellular, dengan
perluasan lini sel myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel progenitornya.
Megakaryocytes (lihat gambar di bawah) yang menonjol dan dapat ditingkatkan.
Fibrosis ringan sering terlihat pada pengecatan reticulin.
Gambar 5.
Hapusan Sumsum Tulang Pasien LMK. Sumsum tulang Film pada perbesaran 400x menunjukkan
dominasi jelas granulopoiesis. Jumlah eosinofil dan megakaryocytes meningkat.
Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum
tulang, dan darah bahkan perifer, harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang
merupakan translokasi resiprokal antara kromosom dari bahan kromosom 9 dan 22
(lihat gambar di bawah). Ini adalah ciri khas LMK, ditemukan di hampir semua
pasien dengan penyakit dan terdapat sepanjang perjalanan klinis seluruh LMK.
A.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan leukemia myelogenous kronis (LMK) telah
berubah signifikan dalam 10 tahun terakhir meliputi:7,8,9,10,11,12
1.
Remisi hematologi (jumlah sel darah
lengkap [CBC] normal dan pemeriksaan fisik normal yaitu, tidak ada organomegali)
2.
Remisi sitogenetika remisi (kembali
normal dengan sel kromosom Ph-positif 0%).
3.
Remisi molekular ( hasil polymerase chain reaction negatif [PCR]
untuk mutasi BCR/ABL mRNA), yang merupakan upaya untuk penyembuhan dan
memperpanjang hidup pasien
Lukemia
mielositik kronk memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama proses
penyakit mudah dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase
akselerasi), dan, akhirnya, tentu saja lebih agresif (blast krisis), yang
biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase, terapi suportif dengan transfusi
sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk meringankan gejala dan meningkatkan
kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90% pasien dengan LMK didiagnosis dalam
tahap kronis. Jumlah sel darah putih pasien (WBC) biasanya dikontrol dengan
obatobatan (remisi hematologi). Tujuan utama dari pengobatan selama fase ini
adalah untuk mengendalikan gejala dan komplikasi akibat anemia,
trombositopenia, leukositosis, dan splenomegali. Pengobatan standar pilihan
sekarang mesylate imatinib (Gleevec), yang merupakan molekul kecil inhibitor spesifik
BCR / ABL dalam semua tahap LMK. Fase kronis bervariasi dalam durasi,
tergantung pada terapi pemeliharaan yang digunakan, biasanya berlangsung 2-3
tahun dengan terapi HU (Hydrea) atau busulfan, tetapi dapat berlangsung selama
lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon dengan baik untuk terapi
interferon-alfa. Selain itu, munculnya mesylate imatinib telah secara dramatis meningkatkan
durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetik. Beberapa pasien dengan kemajuan
LMK pada fase transisi atau cepat, yang bisa berlangsung selama beberapa bulan.
Kelangsungan hidup pasien yang didiagnosis pada tahap ini adalah 1-1,5 tahun.
Fase ini ditandai dengan penurunan respon remisi dari jumlah darah dengan obat
myelosuppressive dan munculnya sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥
30%), basofil (≥ 20%), dan jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel / uL tidak
berhubungan dengan terapi. Untuk mencapai remisi hematologis diperlukan obat
mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis dilanjutkan dengan terapi
interferon dan cangkok sumsum tulang. Terapi myelosuppressive dulunya adalah
andalan pengobatan untuk mengkonversi pasien dengan LMK dari presentasi awal
yang tidak terkendali untuk satu dengan remisi hematologi dan normalisasi dari
pemeriksaan fisik dan penemuan laboratorium. Namun, agen baru terbukti lebih
efektif, dengan efek samping yang lebih sedikit dan kelangsungan hidup lebih lama.10,11,12
a. HU
HU (Hydrea), penghambat sintesis
deoksinukleotida, adalah agen myelosuppressive paling umum digunakan untuk
mencapai remisi hematologi. Hitungan darah awal sel dimonitor setiap 2-4
minggu, dan dosis disesuaikan tergantung pada jumlah WBC dan platelet. Kebanyakan
pasien mencapai remisi hematologi dalam waktu 1-2 bulan. Obat ini hanya
menyebabkan durasi singkat myelosupresi, dengan demikian, bahkan jika jumlah
sel lebih rendah daripada yang dimaksudkan, menghentikan pengobatan atau
mengurangi dosis biasanya mengontrol jumlah darah. Dosis terapi pemeliharaan
dengan HU jarang menghasilkan remisi sitogenetik.10,11,12
b. Busulfan
Busulfan (Myleran) merupakan agen alkylating yang secara
tradisional telah digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000 sel / uL.
Namun, efek myelosuppressive dapat terjadi jauh di kemudian hari dan bertahan
lama yang membuat mempertahankan angka dalam batas normal lebih sulit.
Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis paru, hiperpigmentasi, dan
penekanan sumsum berkepanjangan yang berlangsung berbulan-bulan.10,11,12
c. Imatinib mesylate
(Gleevec)
Mesylate imatinib (Gleevec) adalah inhibitor
tirosin kinase yang menghambat tirosin kinase bcr-abl yang dihasilkan oleh
Philadelphia (Ph1) kromosom. Imatinib menghambat proliferasi dan menginduksi
apoptosis pada sel positif BCR / ABL. Dengan imatinib pada 400 mg / hari secara
oral pada pasien dengan yang baru didiagnosis Ph1- positif CML dalam tahap
kronis, tingkat respon sitogenetika lengkap adalah 70% dan tingkat kelangsungan
hidup 3-tahun diperkirakan adalah 94%. Dengan dosis tinggi 800 mg / hari,
tingkat sitogenetika lengkap respon meningkat menjadi 98%, tingkat respons utama
molekul adalah 70%, dan tingkat respon lengkap molekuler adalah 40-50%. Mekanisme
molekuler untuk resistensi imatinib primer tidak diketahui. Mutasi kinase-domain
BCR / ABL merupakan mekanisme yang paling umum dari resistensi sekunder atau
diperoleh untuk imatinib, terhitung 50-90% kasus, 40 mutasi yang berbeda saat
ini telah dijelaskan. Karena imatinib mengikat ke domain kinase ABL
dikonformasi tertutup atau tidak aktif untuk menginduksi perubahan konformasi,
resistensi terjadi ketika mutasi mencegah domain kinase dari mengadopsi
konformasi spesifik terhadap ikatan.10,11,12
d. Leukapheresis
Leukapheresis menggunakan pemisah sel dapat
menurunkan jumlah WBC dengan cepat dan aman pada pasien dengan jumlah WBC lebih
dari 300.000 sel / uL, dan dapat mengurangi gejala akut leukostasis,
hiperviskositas, dan infiltrasi jaringan. Leukapheresis biasanya mengurangi
jumlah WBC hanya sementara. Dengan demikian, sering dikombinasikan dengan
kemoterapi Cytoreductive untuk efek lebih lama.2,9,11
e. Interferon alfa
Di masa lalu, interferon alfa adalah terapi
pilihan untuk sebagian besar pasien dengan LMK yang terlalu tua untuk
transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor
yang cocok. Dengan munculnya inhibitor tirosin kinase, interferon alfa tidak
lagi dianggap terapi lini pertama untuk LMK. Ini dapat digunakan dalam
kombinasi dengan obat-obat baru untuk pengobatan kasus-kasus refrakter. Sebuah
studi oleh Simonsson et al menemukan bahwa penambahan periode yang relatif
singkat bahkan alfa2b pegylated interferon untuk imatinib meningkatkan tingkat respon
utama molekul pada 12 bulan terapi. Dosis yang lebih rendah dari alfa2b pegylated
interferon dapat meningkatkan toleransi sementara tetap mempertahankan efikasi
dan dapat dipertimbangkan dalam penelitian selanjutnya.2,8,9,11
f. Transplantasi
Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT)
atau transplantasi sel induk saat ini satu-satunya obat yang telah terbukti
untuk LMK. Idealnya, harus dilakukan dalam tahap kronis dari penyakit daripada
pada fase transformasi atau krisis blast. Calon pasien harus ditawarkan
prosedur ini jika mereka memiliki donor terkait cocok atau single antigen-cocok
tersedia. Secara umum, pasien yang lebih muda umum lebih baik daripada pasien
yang lebih tua. BMT harus dipertimbangkan dini pada pasien muda (<55 y) yang
memiliki donor saudara kandung yang cocok. Semua saudara harus bertipe untuk
antigen leukosit manusia (HLA)-A, HLA-B, dan HLA-DR. Jika tidak cocok, jenis
HLA dapat dimasukkan ke dalam register sumsum tulang untuk donor yang tidak sepenuhnya
cocok. BMT alogenik dengan donor yang cocok tidak berhubungan telah
menghasilkan hasil yang sangat menggembirakan dalam penyakit ini. Prosedur ini
memiliki tingkat yang lebih tinggi dari kegagalan graft awal dan akhir (16%),
penyakit host graft akut kelas III-IV (50%), dan extensive chronic graft versus host disease (55%).
Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan berkisar dari 31% menjadi 43%
untuk pasien yang lebih muda dari 30 tahun dan dari 14% menjadi 27% untuk
pasien yang lebih tua. Manfaat dan risiko harus dinilai dengan hati-hati dengan
setiap pasien. Angka kematian yang terkait dengan BMT adalah 10-20% atau kurang
dengan saudara cocok dan 30-40% dengan donor yang tidak berhub ungan. Registri
sumsum tulang mendekati angka kesembuhan untuk pasien dengan LMK pada 50%.
Transplantasi telah ditujunkan ke pasien yang tidak mencapai remisi molekular
atau menunjukkan resistensi terhadap imatinib dan kegagalan generasi kedua BCR-ABL
inhibitor kinase seperti dasatinib. Paparan sebelumnya untuk imatinib sebelum
transplantasi tidak mempengaruhi hasil posttransplant seperti kelangsungan
hidup secara keseluruhan dan kelangsungan hidup bebas perkembangan. Sebuah
analisis retrospektif yang mencakup 70 pasien dengan LMK (44% pada fase
akselerasi atau krisis blast) yang telah menerima imatinib sebelum
transplantasi sel induk menunjukkan engraftment 90% dan diperkirakan
transplantasi terkait kematian 44% dan mortalitas kambuh diperkirakan 24% pada
24 bulan . Graft versus host tingkat penyakit adalah 42% untuk% akut dan 17
untuk kronis. [35] Sebagian besar data berasal dari transplantasi alogenik dari
donor yang cocok HLA-saudara dan transplantasi syngeneic beberapa dari saudara
kembar identik. Data menunjukkan bahwa transplantasi alogenik memiliki hasil
lebih baik dibandingkan transplantasi syngeneic karena beberapa efek graft
versus leukemia. BMT adalah autologous yang diteliti, tetapi, relatif baru-baru
ini, kemoterapi kombinasi atau interferon telah ditemukan untuk menginduksi
remisi sitogenetik dan memungkinkan pemanenan Ph-negatif CD34 sel induk
hematopoietik dari darah perifer pasien. Munculnya terapi imatinib telah
dibayangi transplantasi sel induk alogenik hematopoietik di LMK baru
didiagnosa. Namun, telah menyarankan bahwa pasien dengan skor Sokal miskin
berisiko (lihat Prognosis), tetapi risiko yang baik untuk transplantasi sel
induk alogenik hematopoietik ditransplantasikan awal atau dimuka. Tidak ada
konsensus saat ini ada pada masalah ini. Namun, konsensus secara luas diterima
adalah bahwa pasien yang kemajuan luar fase kronis pada imatinib harus ditawarkan
transplantasi sel induk hematopoietik jika ini adalah pilihan. Dengan pasien
dalam krisis ledakan yang belum terpapar imatinib, obat ini digunakan dalam
kombinasi dengan rejimen induksi sama dengan yang digunakan di myelogenous akut
atau leukemia limfoblastik. Namun, karena persentase yang tinggi dari
imatinib-tahan mutasi ada pada pasien, kambuh lebih sering terjadi dan pada
waktu sebelumnya dari induksi. Dengan demikian, semua upaya yang dilakukan
untuk melakukan transplantasi sel induk alogenik hematopoietik sesegera
mungkin. Kebanyakan pasien dengan penyakit sisa minimal (MRD) setelah
transplantasi membutuhkan terapi pemeliharaan interferon. Atau, mereka mungkin
memerlukan reinfusion sel T yang dikumpulkan dari donor.2,9,11
g. Splenektomi
Splenektomi dan radiasi limpa telah digunakan
pada pasien dengan splenomegali, biasanya dalam tahap akhir dari LMK. Ini
jarang diperlukan pada pasien dengan LMK yang terjaga. Beberapa penulis percaya
bahwa splenektomi mempercepat terjadinya metaplasia myeloid di hati. Selain
itu, splenektomi berhubungan dengan morbiditas perioperatif tinggi dan tingkat
kematian karena perdarahan atau komplikasi trombotik.2,9
B.
PROGNOSIS
Secara historis, kelangsungan hidup rata-rata
pasien dengan LMK adalah 3-5 tahun dari saat diagnosis. Saat ini, pasien dengan
LMK memiliki hidup rata-rata 5 tahun atau lebih dan 5 tahun tingkat
kelangsungan hidup 50-60%. Peningkatan tersebut telah dihasilkan dari diagnosis
dini, terapi ditingkatkan dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang,
dan perawatan suportif yang lebih baik.2,7,9
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Hoffbrand AV. Petit JE. Moss PAH.
Hematologi. 4th. Jakarta: EGC; 2005. p:167-176
2.
Besa EC. Chronic myelogenous
leukemia. Medscape: 2014.
3.
Chen YB. Chronic myelogenous
leukemia. Medlineplus: 2014
4.
Price SA. Wilson LM. Patofisiologi.
Konsep klinis proses-proses penyakit. Vol.1. 6th . Jakarta: EGC;
2006. P:277-281
5.
Khrisnan K. Leukemia chronic myeloid.
American cancer association: 2014
6.
Cardama AQ. Cortes JE. Chronic
myeloid leukemia (diagnosis and treatment). Symposium oncology practice: 2006
7.
Alenzy FQ. Wyse RK. A close link
between Fas, p53 and Apaf1 in chronic myeloid leukemia. Vol.28. Saudi med
journal: 2007
8.
Melo JV. Barnes DJ. Chronic myeloid
leukemia as a model of disesase evolution in human cancer. Vol.7. Nature
publishing group: 2007
9.
Sawyers CL. Chronic myeloid leukemia.
Vol.340. The new England journal of medicine: 1999
10. Saglio G. Kim DW. Issaragrisil S. Nilotinib
vs imatinib for newly diagnose chronic myeloid leukemia. NEJM: 2010
11. Alberta
health service. Management of chronic myeloid leukemia. Clinical practice
guidline Lyhe: 2012
Desmukh C. Saikia T.
Bakshi A. Imatinib mesylate in chronic myelocytic leukemia. Vol.53. JAPI: 2005
0 komentar:
Posting Komentar