BAB I
PENDAHULUAN
Difteri merupakan penyakit menular yang
sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama saluran
pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari
orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden
penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara
meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan
kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan social ekonomi rendah
yang tinggal di tempat sangat berdekatan, memperoleh fasilitas pelayanan
kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.1,2
Obstruksi saluran nafas atas karena
difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah
kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfonia,
retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, dan interkostal, dan apabila
tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena
hipoksia.3
Pada 1400 kasus difteri di California,
fokus infeksi primer sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung
dan laring merupakan dua tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang
daripada tonsil dan faring. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau
difteri Bullneck dan miokarditis menyebabkan kematian paling besar. Angka
kematian kasus difteri saluran nafas hampir 10%.4
Pada penderita umumnya anaka-anak, usia
dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu
sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama abad ke 20 difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak. 2
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi difteri
Difteria
merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria
dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. 1
2.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini
menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden
tergantung kekebalan individu, lingkungan, akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri
sering terjadi dikalangan penduduk social ekonomi rendah di tempat yang sangat
berdekatan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, mempunyai
pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu
yang belum mendapat imunisasi.2
2.3 Etiologi
Corynebacterium diphtheria adalah
kuman batang gram positif, (basil aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar
0,3 hingga 0,8 μm, tidak bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini
tidak membentuk spora, tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada
pemanasan 60°C. 2
Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade
bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 1). Kuman tidak
bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media
tertentu yaitu Sistin Telurit Agar Darah. Media Sistin Telurit Agar Darah akan
menghambat pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium
difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam.2,3
Pada media Loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan
dengan fosfat konsentrasi tinggi maka Corynebacterium difteri akan membentuk
granul berwarna metakromatik. Sedangkan pada pewarnaan metilen blue koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium difteri dapat hidup
bersama dengan kuman difteroid yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan diperlukan pemeriksaan khusus dengan fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa.4
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium difteri yaitu
tipe gravis, intermedius dan mitis. Ketiga subspecies sedikit berbeda dalam
morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi
tertentu. Perbedaan virulensi tiga strain dikaitkan dengan kemampuan relatif
untuk memproduksi toksin difteri baik kualitas maupun jumlah, dan tingkat
pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu pertumbuhan 60 menit,
strain intermedius memiliki waktu pertumbuhan sekitar 100 menit, dan mitis
memiliki waktu pertumbuhan sekitar 180 menit. Dipandang dari sudut antigenitas
sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai
banyak tipe serologis. Hal ini bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien
bisa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium difteri.3
Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal). Kemampuan
suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium difteri yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen. Toksin ini dapat diperlihatkan
dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian atau
dengan teknik imunopresipitin agar atau disebut juga uji Elek yaitu suatu uji reaksi
polimerase.1,2
2.4 Faktor resiko
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri
sebelumnya dan kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah
terinfeksi difteri :
1.
Cakupan
imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT
yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada
anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2.
Kualitas
vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga
Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3.
Faktor
Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang
rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan
sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4.
Tingkat
pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan
kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
5.
Akses
pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu.4
2.5 Patogenesis
Sumber penularan
penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier.
Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi, dan
kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection.
Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.1,4
Corynebacterium
difteri adalah organisme yang minimal melakukan invasif, secara umum jarang
memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrane mukosa atau pada
jaringan yang rusak dan menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh
tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik. Kuman
masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal)
yang disatukan dengan ikatan disulfide. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan
molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.
Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat melakukan penetrasi
ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.2
Gambar 3. Toksin dan
reseptor difteri
Reseptor toksin difteri
pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan
penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai
bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara
alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran
endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel.5
Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer
RNA yang menempati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino
ini ditambah asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan
biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya
gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses
translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula
menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A
akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2
yang inaktif. 2
Hal ini menyebabkan
proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati. Nekrosis tampak
jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon terjadi inflamasi lokal
dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula
mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa
melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri dalam periode penyembuhan. 2
Secara garis besar
patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu
:4
1.
Invasi dari
jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
2.
Toksin
difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi hambatan
sintesa protein dalam sel.
Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun
virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri
berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan
kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar
mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian
terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini sukar
diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan
kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran difteri dapat
bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering disebut
dengan “simple tonsilar exudate”. Kerusakan jaringan mengakibatkan udema dan
pembengkakan daerah sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah
laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal.5
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan
syaraf. Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan
mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udema, dan interstitial
fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan peradangan
setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan
oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat terjadi pada
saraf sensorik dan saraf motorik.3
Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
timbul dalam 10 – 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 – 7
minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi
hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.
Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin.
Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubular akut pada ginjal.2
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya,
yaitu:4
1.
Infeksi
ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
2.
Infeksi
sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan menimbulkan
bengkak pada laring.
3.
Infeksi
berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.
2.6 Manifestasi klinis difteri
Manifestasi klinis
penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi, tanpa gejala
sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah
imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman C.Difterie
membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk
umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah
ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik, tergantung
pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C.1
2.6.1
Difteri
Hidung
Difteri hidung pada
awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous, kemudian
serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran secret bisa
hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa
menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian
atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan adanya
membran putih pada septum nasi.2
Absorpsi toksin difteri
pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata, sehingga
dalam penegakkan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih lama. Pada penderita
yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara
cepat dengan pemberian antibiotik.3
1.6.1
Difteri
tonsil faring
Gejala difteri tonsil
faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri tenggorokan, demam
sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau, anoreksia, dan malaise.
Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih – kelabu
menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau
ke bawah ke laring dan trakea. 2
Gambar 7. Difteri
tonsil, faring2
Usaha melepas membran
akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis servikalis dan submandibular bila
terjadi bersamaan dengan udema ringan jaringan lunak leher yang luas, akan
menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat
penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik
unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 – 10
hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. 5
1.6.1
Difteri
laring
Difteri laring biasanya
merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk kering.2
Pada obstruksi laring
yang berat terdapat retraksi suprasternal, supraklavikular, dan intrakostal.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Pada difteri laring yang terjadi sebagai perluasan dari difteri faring, maka
gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana
didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri
jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas.1
Gambar 8. Difteri
laring2
1.6 Diagnosis difteri
Diagnosis dini sangat
penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi
prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala
klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok
sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain
juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran
penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih keabu-abuan disertai
lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat
terjadi perdarahan.3
Untuk pemeriksaan
bakteriologis dapat dilakukan dengan :
·
Pengambilan
preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membran
·
Kultur
dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah.
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien
difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG).
Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas
penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca
beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis
serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.1
Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk
biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan
isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.4
1.7 Komplikasi
Komplikasi bisa
dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.4
Komplikasi difteri terdiri dari :
1.
Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman
streptokokus dan stafilokokus yang akan memperberat gejala Difteri
2.
Infeksi
lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas
3.
Infeksi
sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa
berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf
menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan. Komplikasi
berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi jalan
nafas.2,4
1.8 Prognosis
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi
beberapa hal, yaitu tergantung pada:4
1.
Usia
penderita
Makin rendah usia
penderita makin jelek prognosis. Kematian paling sering ditemukan pada anak
kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2.
Waktu
pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin prognosis
semakin baik.
3.
Tipe klinis
difteri
Mortalitas tertinggi
pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring
(10,5%)
4.
Keadaan
umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin
berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat
fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat.
Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis yang disertai
kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.5
1.9
Pengobatan
dan penatalaksanaan difteri
Tujuan pengobatan
penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin yang telah
melakukan penetrasi ke dalam sel.4
a.
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai
masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat, makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.
Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.2,4
b.
Pengobatan
khusus
·
Antitoksin
: Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera
setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. 4
Tabel 1. Dosis ADS
Menurut Lokasi Membran
Sebelum Pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan
0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang
lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan
lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara
20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam
larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).2,4,
·
Antibiotik
Antibiotik diberikan
bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri,
menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C.
Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk
penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah
digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin.
Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri
nasofaring.1
Dosis :
·
Penisilin
prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
·
Eritromisin
40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
·
Penisilin G
kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4 dosis.
·
Amoksisilin.
·
Rifampisin.
·
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh
sekurangkurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang
diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.4
·
Kortikosteroid
Belum ada persamaan
pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan korikosteroid
diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat
penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison
1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.4
a.
Pengobatan
penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel.
Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi.17 Pengobatan terhadap
miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan
mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis
yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial
respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan
nafas harus selalu dijaga. 2
DAFTAR PUSTAKA
1.
Todar K.
Online textbook of bacteriology, 2011. Available from : http://www.textbook of bacteriology.net/featured_microbe.jpg.
2.
CDC. DiphtheriaEpidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Diseases. Edisi 12,
2012. Available from:
3.
De Benoist AC, White
JM, Efstratiou A et al. (2009) diphtheria, United Kingdom. Emerging
Infectious Diseases 109-110.
4.
Guilfoile PG.
diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and epidemics diphtheria. United
States of America : Chelsea house publishers ; 2009.p. 97 – 105
5.
Deterding RR.
Diphtheria. In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and
therapy in pediatric. 18th ed.
United State of America : Library of congress press ; 2009 p 75-78
0 komentar:
Posting Komentar